Ketua PBNU Bertemu Grand Sheikh Al-Azhar Bahas Beberapa Kerja Sama

By Admin

nusakini.com--Indonesia adalah negara multi etnis, multi agama dan multi bahasa, dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, Indonesia tetap bersatu dalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Pancasila.

Umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas mampu menaungi keragamaan yang ada dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Ini adalah kesyukuran yang sangat mendalam, karena keragaman yang ada tidak menjadi kendala untuk bernegara dalam sistem demokrasi yang disepakati oleh semua komponen bangsa. 

Hal itu disampaikan Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, Ketua Umum PBNU kepada Grand Sheikh Al-Azhar pada saat bertemu di sela-sela kegiatan Konferensi Internasional Kebebasan, Kewarganegaraan, Keragaman dan Persatuan di Hotel Fairmont Kairo, 1 Maret 2017. 

Said Agil menambahkan bahwa sebagai negara dengan penduduk muslim suni terbesar, Indonesia saat ini mendapat tantangan yang cukup besar, khususnya dengan maraknya kelompok-kelompok Islam yang beraliran liberal dan radikal.

Dua kelompok ini terus berupaya untuk menyudutkan penganut ahlussunnah wal jamaah yang mengutamakan tawasut, tawazun dan tasamuh, mereka berkeinginan untuk membawa mayoritas umat Islam kepada radikalisme dan liberalisme. Untuk itu, Nahdhatul Ulama sebagai salah satu benteng ahlussunah waljamaah terbesar di Indonesia selalu berupaya untuk merangkul semua kelompok agar kembali kepada Islam yang penuh rahmat, Islam yang penuh kasih sayang melalui risalah kemanusiaan islam rahmatan lilálamin. 

Pada saat yang sama, Grand Sheikh Al-Azhar Mesir, Prof. Dr. Ahmad Mohamed Al-Tayeb selaku Ketua Muslim Cauncil of Elders (Majelis Hukama el-Muslimin) dan Pimpinan Tertinggi Al-Azhar menegaskan bahwa Nahdhatul Ulama dan Al-Azhar memiliki misi yang sama, dan saat ini Al-Azhar sebagaimana Nahdhatul Ulama juga mendapat tantangan yang memerlukan kerja keras untuk menghadapinya.

Menurut Ahmad Tayeb, Al-Azhar bisa bertahan hingga seribu tahun lebih antara lain adalah karena Al-Azhar senantiasa merangkul semua golongan, berusaha menjadi penengah setiap konflik antar golongan, dan menempatkan risalah Islam yang moderat dan toleran sebagai perisai perjuangan mempertahankan Islam Ahlussunnah wal Jama`ah. 

Grand Sheikh Al-Azhar menambahkan bahwa posisi di atas tidak jarang disalahpahami oleh kelompok-kelompok yang tidak punya i`tikad baik terhadap persatuan Islam. Tidak jarang kebijakan yang dikeluarkan oleh Al-Azhar ditentang oleh kelompok-kelompok yang ada, kelompok yang keras menuduh Al-Azhar liberal, sementara kelompok Liberal menuduh Al-Azhar radikal. Tetapi itulah resiko posisi di tengah, moderat, banyak yang ingin menarik ke kiri atau ke kanan. 

Pada kesempatan pertemuan tersebut, Grand Sheikh Al-Azhar dan Ketua Umum PBNU juga membahas upaya kerja sama pendidikan dan dakwah antara Al-Azhar dan Nahdhatul Ulama.

Said Agil menjelaskan kepada Ahmad Tayeb, bahwa pesantren yang ada dalam naungan Nahdhatul Ulama saat ini mencapai 12 ribu lebih. Mereka mewarisi metode belajar Islam seperti yang pernah dilakukan oleh Al-Azhar. Selain itu, tidak sedikit dari pesantren-pesantren ini yang mengembangkan pendidikan modern dengan mengajarkan ilmu pengetahuan dan Teknologi, tetapi tetap dalam nuansa pesantren yang menekankan pentingnya Aqidah, Akhlaq dan Syariah. 

Grand Sheikh Al-Azhar yang sangat antusias mendengarkan penjelasan Ketua Umum PBNU tentang pendidikan dan dakwah di Indonesia menawarkan berbagai bentuk kerja sama untuk meningkatkan pendidikan dakwah Islam yang rahmatan lil alamin sesuai dengan risalah Nabi Muhammad SAW.​(p/ab)